Sosialisasi

Pemilih Muda Dominan di Medsos, KPU Matangkan Strategi Konten Sosialisasi

CIREBON - Di tengah tingginya aktivitas masyarakat di media sosial—lebih dari tiga jam setiap hari—ruang digital kini menjadi kanal paling efektif bagi KPU untuk menyampaikan informasi Pilkada. Bukan sekadar wadah hiburan, media sosial telah menjelma menjadi jalur cepat untuk menyebarkan jadwal, tahapan, dan berbagai informasi resmi secara real-time. Hal ini disampaikan Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Cirebon, Masyhuri Abdul Wahid dalam pemaparannya sebagai narasumber pada kegiatan Parmas Insight Chapter #7 dengan tema "Peran Media Sosial dalam Sosialisasi Pilkada (Pengelolaan Akun Medsos agar Engaging & Informatif) yang digelar KPU Provinsi Jawa Barat, Rabu (19/11). Masyhuri menjelaskan bahwa pemilih muda—yang sekaligus menjadi pengguna medsos paling aktif—sangat dipengaruhi oleh konten kreatif dan edukatif. “TikTok dan Instagram adalah pintu utama mereka. Sementara YouTube dan Facebook lebih efektif menjangkau Gen X dan kelompok usia yang lebih senior. Memahami karakter setiap platform itu penting agar pesan KPU sampai kepada audiens yang tepat,” jelasnya. Ia juga menekankan bahwa media sosial berperan besar dalam membangun kepercayaan publik. “Publikasi kegiatan, dokumentasi proses, sampai respons cepat terhadap isu adalah bentuk keterbukaan. Di era banjir informasi, komunikasi proaktif sangat penting untuk menangkal hoaks atau klaim palsu yang bisa merusak citra lembaga,” ujarnya. Menurutnya, kekuatan utama media sosial justru ada pada interaksi dua arah. “Akun resmi harus menjadi ruang dialog. Respons yang cepat, bahasa yang ramah, dan visual yang konsisten akan membuat masyarakat merasa dekat. Prinsip STOC—sharing, transparency, openness, collaboration—harus diterapkan,” kata Masyhuri. Untuk memastikan efektivitas, ia menegaskan bahwa jadwal posting terstruktur adalah kunci agar informasi Pilkada tersampaikan tepat waktu. Kalender konten harus ditetapkan dalam pleno, dipantau prosesnya, dan mengikuti kerangka “Circular Model of SOME”—Share, Optimize, Manage, dan Engage. Dukungan internal juga penting, karena penyebaran informasi tidak bisa hanya bertumpu pada divisi humas. Kolaborasi strategis menjadi penguat jangkauan. Kerja sama dengan komunitas, influencer lokal, dan sesama akun resmi KPU membantu memperluas narasi netral dan informatif, seperti kolaborasi KPU Kabupaten Cirebon dengan komunitas Konten Kreator Cirebon. Monitoring insight berfungsi sebagai alat evaluasi. Data jangkauan dan engagement menjadi dasar penyempurnaan strategi, sementara respons cepat berbasis data resmi diperlukan untuk menghadapi hoaks atau krisis informasi. Semua ini hanya berjalan efektif jika didukung SDM yang mumpuni. Karena itu, pelatihan komunikasi digital dan kebijakan medsos harus rutin dilakukan, disertai tim khusus yang menangani konten, analitik, engagement, dan manajemen krisis. Mengakhiri pemaparan, Masyhuri menekankan bahwa pengelolaan media sosial harus berpegang pada prinsip etika dan regulasi. Netralitas wajib dijaga agar akun tetap bebas dari keberpihakan dan menjaga integritas lembaga. Konten perlu disajikan secara informatif tanpa memicu polarisasi, sehingga ruang digital tetap kondusif. Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Jawa Barat, Hedi Ardia membuka kegiatan dengan menyampaikan bahwa meeting hari ini istimewa karena menghadirkan narasumber dari luar Jawa Barat sebagai bentuk pengayaan, bukan hanya berkutat di sekitar Jawa Barat saja tetapi juga mendengarkan pengalaman dari provinsi lain. Ia menekankan bahwa tema hari ini berbeda dengan sebelumnya, fokus pada pengelolaan media sosial yang masih belum maksimal di hampir semua kabupaten/kota. Padahal pengguna internet sudah di atas 200 juta dan media sosial telah menjadi kanal utama masyarakat untuk menyebarkan informasi secara cepat dan luas. Hedi menegaskan bahwa KPU sebagai lembaga publik jangan sampai kalah dalam persaingan narasi di media sosial, karena jika dibiarkan informasi yang salah atau hoaks berkembang, hal tersebut bisa mengancam demokrasi. Beliau berharap diskusi ini dapat menguatkan pemahaman dan memperbaiki pengelolaan media sosial ke depannya. Diskusi ini semakin kaya dengan kehadiran narasumber dari KPU Kabupaten Bandung Barat dan keynote speaker dari KPU Provinsi Jawa Tengah. Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Jawa Tengah, Akmalia mengemukakan bahwa media sosial kini memegang peran yang semakin penting dalam sosialisasi Pilkada. Ia menegaskan bahwa media sosial bukan lagi ruang komunikasi yang kaku. Platform digital telah berubah menjadi wadah sosialisasi, edukasi, sekaligus sarana membangun citra dan kepercayaan publik terhadap lembaga KPU. Menurutnya, setiap platform digital memiliki karakter dan audiens yang berbeda. “X, Instagram, TikTok—semuanya punya gaya komunikasi yang tidak sama. Karena itu, kunci pengelolaan media sosial adalah memahami karakter platform dan membuat konten yang kreatif, mudah dipahami, dan menarik, apalagi untuk pemilih muda,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa media sosial kini menjadi alat penting bagi penyelenggara Pemilu. “Melalui media sosial, kita bisa membangun kepercayaan publik, membuka ruang partisipasi, melawan hoaks dengan cepat, sekaligus menjalankan kampanye edukasi dan sosialisasi secara lebih luas,” terangnya. Di akhir pemaparan, Akmalia menekankan pentingnya adaptasi dalam berkomunikasi. “Gaya komunikasi harus disesuaikan dengan audiens dan kearifan lokal. Ketika kita berbicara dengan cara yang dekat dengan masyarakat, pesan KPU akan lebih mudah diterima,” tutupnya. Sementara itu, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Bandung Barat, Deni Firman Rosadi membuka pemaparannya dengan menegaskan bahwa pengelolaan media sosial hari ini harus benar-benar memahami cara kerja platform digital. “Kalau kita ingin konten KPU dilihat, disukai, dan dibagikan, kita harus mengerti dulu bagaimana algoritma bekerja,” ujarnya. Menurutnya, algoritma selalu memilih konten yang membuat pengguna betah dan bertahan lama. “Konten yang ditonton sampai selesai, cepat dapat interaksi, sering dibagikan secara personal, dan berasal dari akun yang aktif—itu yang paling disukai algoritma,” jelasnya. Ia kemudian membahas format konten yang paling efektif, terutama di Instagram dan TikTok. “Reels itu senjata utama. Durasi terbaik hanya 7 sampai 12 detik, tapi harus punya hook kuat di detik pertama supaya penonton penasaran,” katanya. Ia juga menyarankan penggunaan musik trending, teks besar untuk penonton yang menonton tanpa suara, visual yang dinamis, serta narasi pendek yang tetap edukatif. Terkait waktu terbaik mengunggah konten, Deni menekankan pentingnya mengikuti ritme aktivitas masyarakat. “Posting pagi sebelum sekolah atau kerja, saat istirahat siang, dan setelah magrib sampai malam. Itu jam-jam emas,” ungkapnya. Ia juga memberikan panduan frekuensi posting yang ideal agar akun tetap aktif tanpa terasa berlebihan: Reels 3–5 kali seminggu, Story setiap hari, postingan feed 1–2 kali seminggu, dan sesi Live minimal sebulan sekali. Di bagian akhir, Deni menekankan bahwa engagement tidak selalu bergantung pada visual yang keren, tetapi pada pendekatan yang tepat. “Kuncinya itu kolaborasi dan konten yang humanis. Sampaikan hal penting dengan cara yang akurat, ringan, dan dekat dengan masyarakat. Itu yang membuat orang mau kembali lagi melihat akun kita,” ujarnya.

Ciptakan Lingkungan Kerja Sehat, KPU Tegaskan Komitmen Pencegahan Kekerasan Seksual

CIREBON - Kekerasan seksual memiliki cakupan yang lebih spesifik dibandingkan pelecehan seksual. Salah satu aspek penting dalam kekerasan seksual adalah adanya relasi kuasa.   Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU Kabupaten Cirebon, Esya Karnia Puspawati, pada kegiatan In House Training (IHT) bertema Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Jumat (14/11) di Aula Pangeran Walangsungsang. Kegiatan ini diikuti oleh Ketua dan Anggota KPU, Sekretaris, para kepala subbagian, serta seluruh staf sekretariat. Esya menyinggung belum adanya petunjuk teknis pembentukan satgas pencegahan kekerasan seksual di lingkungan KPU kabupaten/kota. Meski demikian, pembentukan satgas di tiap satuan kerja tetap dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan aturan, mengingat luasnya unsur yang berada di bawah koordinasi KPU. Ia kemudian memaparkan data realtime dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan per 1 Januari 2025. Hingga saat ini, tercatat 27.696 laporan kekerasan seksual—terdiri dari data terverifikasi dan data yang baru masuk. Dari jumlah tersebut, 5.870 korban merupakan laki-laki, sementara korban perempuan mencapai 23.640 orang. “Angka tersebut kemungkinan hanya “puncak gunung es”, karena tidak semua korban berani atau mampu melapor,” ujarnya. Data tersebut juga menunjukkan bahwa Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan angka kekerasan seksual yang meningkat. Kondisi ini, menurutnya, menjadi salah satu alasan penting bagi KPU untuk mengambil langkah progresif dalam pencegahan kekerasan seksual, termasuk bagi jajaran penyelenggara pemilu yang memiliki kerentanan tertentu dalam struktur kerja. Esya menambahkan, hukum di Indonesia masih sangat bergantung pada visum dalam pembuktian kasus kekerasan seksual, sehingga pengalaman korban yang bersifat nonfisik sering kali tidak terakomodasi. “Mari sama-sama kita memahami bahwa korban bisa berasal dari gender apa pun dan bahwa relasi kuasa sering menjadi faktor yang memicu terjadinya kekerasan,” jelasnya. Menutup pengantar, ia berharap pemahaman ini dapat menjadikan KPU Kabupaten Cirebon sebagai lembaga yang berperan aktif dalam upaya pencegahan kekerasan seksual. “Mari kita belajar bersama, memahami isu ini dengan jernih, dan menjadikan lingkungan kerja kita lebih aman dan berintegritas,” tutupnya. Sebagai narasumber, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Cirebon, Masyhuri Abdul Wahid, menyampaikan bahwa pemahaman mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual merupakan hal yang sangat penting bagi seluruh jajaran KPU. Ia menegaskan bahwa materi ini tidak hanya relevan sebagai kebijakan internal, tetapi juga sebagai upaya membangun lingkungan kerja yang aman, sehat, dan bermartabat. Ia kemudian menjelaskan satu per satu bentuk kekerasan seksual dengan bahasa yang lugas. Menurutnya, pelecehan seksual fisik adalah setiap tindakan bernuansa seksual yang melibatkan kontak fisik tanpa persetujuan korban. Ia mencontohkan, “Meraba, memeluk secara seksual, atau memaksa seseorang melakukan gerakan yang tidak pantas—semua itu termasuk pelecehan yang dampaknya sangat besar bagi korban.” Masyhuri juga menekankan bahwa pelecehan seksual nonfisik tidak boleh dianggap sepele. Ia menyampaikan bahwa komentar bernada seksual, candaan yang merendahkan, tatapan tidak pantas, atau pesan bernuansa seksual tetap termasuk kekerasan karena mengganggu kenyamanan dan kesehatan psikologis korban. Ia menambahkan bahwa tindakan ini sering kali dianggap ringan, padahal efeknya bisa membuat korban kehilangan rasa aman. Lebih lanjut, ia menjelaskan mengenai pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan sterilisasi. Dalam penyampaiannya, ia menegaskan bahwa pemaksaan terhadap tubuh seseorang, baik penggunaan maupun penghentian kontrasepsi, termasuk tindakan pelanggaran hak reproduksi. “Ketika seseorang dipaksa menggunakan alat kontrasepsi atau bahkan menjalani sterilisasi tanpa persetujuannya, maka itu merupakan bentuk kekerasan seksual yang sangat serius,” jelasnya. Terkait pemaksaan perkawinan, Masyhuri menjelaskan bahwa tindakan ini dapat terjadi melalui tekanan keluarga, adat, ekonomi, maupun ancaman langsung. Ia mengingatkan bahwa perkawinan anak maupun perkawinan yang terjadi karena paksaan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dan berdampak panjang pada masa depan korban. Dalam bagian lain, ia menyampaikan bahwa penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual merupakan bentuk kekerasan yang umumnya disertai kekuasaan dan kontrol penuh oleh pelaku. “Pada titik ini, korban tidak hanya mengalami penderitaan fisik, tetapi juga mental dan emosional. Mereka kehilangan kebebasan, harga diri, bahkan hak dasar sebagai manusia” ujarnya. Masyhuri juga menyoroti maraknya kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Ia menjelaskan bahwa tindakan seperti penyebaran foto atau video pribadi tanpa izin, ancaman seksual melalui pesan, pemerasan digital, dan grooming terhadap anak adalah bentuk kekerasan yang kini semakin sering terjadi. Menurutnya, penggunaan teknologi perlu dibarengi dengan kesadaran etika dan perlindungan diri. Menutup penyampaiannya, Masyhuri mengajak seluruh peserta untuk lebih peka dan peduli. “Saya berharap kita semua dapat memahami materi ini bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai pedoman dalam bekerja. Kita harus berani menolak, mencegah, dan melaporkan setiap tindakan yang berpotensi menjadi kekerasan seksual,” pungkasnya. Dalam sesi penutup kegiatan IHT ini, Ketua KPU Kabupaten Cirebon, Esya Karnia Puspawati, menyampaikan sejumlah rekomendasi penting terkait penguatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan KPU. Esya menekankan bahwa Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual perlu memperhatikan beberapa hal sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini. Ia menyampaikan, pertama, Satgas perlu membentuk mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban, sehingga keduanya dapat merasa aman dan terlindungi ketika melaporkan atau memberikan keterangan terkait kasus kekerasan seksual. Kedua, Satgas diharapkan mampu memperjelas dan mempertegas jenis-jenis perkara kekerasan seksual yang menjadi kewenangannya. Dengan demikian, proses penanganan dapat berjalan lebih terarah, sesuai pedoman, dan menghindari kerancuan dalam menindaklanjuti laporan. Ketiga, Esya menyebut bahwa isu kekerasan seksual merupakan pekerjaan rumah bersama yang membutuhkan kesadaran kolektif. Ia mengajak seluruh jajaran KPU Kabupaten Cirebon untuk meningkatkan kepedulian, memperkuat pemahaman, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan. Sebagai bentuk komitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman, dan bebas dari kekerasan seksual, KPU Kabupaten Cirebon telah membentuk Unit Pencegahan Kekerasan Seksual. Unit ini berperan mendukung kinerja Satgas dalam upaya pencegahan sekaligus penanganan kasus kekerasan seksual, sehingga perlindungan terhadap seluruh jajaran penyelenggara pemilu dapat berjalan lebih optimal. Melalui kegiatan IHT ini, KPU Kabupaten Cirebon sekaligus melakukan sosialisasi mengenai UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sebagai dasar hukum penting dalam upaya pencegahan dan penegakan penanganan kekerasan seksual di lingkungan lembaga.

Dari Wayang ke TikTok: KPU Jabar Ajak Gen Z Wujudkan Demokrasi yang Berbudaya

CIREBON - Kemeriahan budaya berpadu dengan semangat demokrasi saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Barat menggelar Pendidikan Pemilih Berkelanjutan dengan Pendekatan Budaya di SMA Negeri 1 Soreang, Selasa (11/11). Lewat kegiatan bertema “Ngajaga Budaya, Ngamumule Demokrasi, Ngawujudkeun Jabar Istimewa”, KPU Provinsi Jawa Barat menginspirasi para pelajar untuk memahami politik dan demokrasi secara bijak—mulai dari panggung wayang hingga dunia digital. Ketua KPU Provinsi Jawa Barat, Ahmad Nur Hidayat, dalam sambutannya mengajak para siswa Gen Z untuk aktif berkolaborasi dengan KPU dalam menyebarkan semangat demokrasi dengan cara yang kreatif. “KPU senang banget kalau Gen Z bisa kolaborasi. Kalian ini generasi yang multitasking—bisa belajar sambil nonton YouTube, sambil live di TikTok. Nah, kenapa nggak sekalian bikin konten tentang demokrasi yang seru dan bermanfaat?” ujarnya disambut tawa dan antusiasme para siswa. Ia juga mengingatkan pentingnya etika berkomunikasi di era digital. “Demokrasi itu dimulai dari hal-hal kecil, dari cara kita berkomunikasi setiap hari. Jadi, pelajar harus berkarakter, beretika, dan tentu saja Pancasilais. Jangan asal komentar di media sosial, jaga jari kita agar tidak menyebarkan hoaks,” pesannya. Ahmad Nur Hidayat pun menantang siswa-siswi untuk berkreasi membuat poster bertema “Demokrasi Sehat Versi Gen Z” serta mengajak mereka untuk memanfaatkan media sosial secara positif. Sementara itu, Sekretaris Badan Kesbangpol Provinsi Jawa Barat, Rumondang Rumapea, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan inovasi pendidikan politik yang menggabungkan nilai demokrasi dan budaya lokal. “Pagelaran wayang golek hari ini bukan sekadar hiburan, tetapi media untuk menyampaikan pesan moral, kebangsaan, dan nilai-nilai demokrasi kepada generasi muda agar memahami politik dengan cara yang santun, beretika, dan berkarakter,” tuturnya. Rumondang juga mengingatkan besarnya peran generasi muda dalam menentukan masa depan demokrasi. Dari 36 juta pemilih di Jawa Barat pada Pemilu 2024, sekitar 7,5 juta di antaranya adalah pemilih pemula. “Mereka inilah masa depan bangsa. Kita harus memastikan anak-anak muda menjadi pemilih yang cerdas, arif, dan bijak dalam menentukan pilihan,” katanya. Ia menekankan pentingnya memberi ruang bagi generasi muda untuk menyuarakan pendapatnya. “Jangan takut memberi mereka ruang untuk berbicara. Libatkan anak-anak muda dalam pengambilan keputusan. Dare to speak, berani berbicara dengan cara yang santun dan elegan,” ujarnya penuh semangat. Rumondang menutup pesannya dengan mengangkat filosofi budaya lokal yang menjadi akar karakter bangsa. “Wayang mengajarkan kebenaran, kejujuran, dan pengabdian. Itu nilai-nilai luhur politik yang berintegritas. Jangan pernah lupakan budaya kita, karena di sanalah jati diri kita,” tegasnya. Agenda selanjutnya diisi dengan diskusi panel yang sarat inspirasi. Satu per satu narasumber hadir membagikan pandangan dan pengalaman mereka tentang pentingnya peran generasi muda dalam menjaga masa depan demokrasi Indonesia. Pertama, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Jawa Barat, Hedi Ardia, dalam paparannya menyampaikan pesan inspiratif kepada para siswa SMA Negeri 1 Soreang. Ia mengajak generasi muda untuk memahami pentingnya peran mereka dalam menentukan arah masa depan bangsa melalui pendidikan politik sejak dini. “Ada tiga hal yang akan menentukan masa depan kalian semua,” ujarnya membuka. “Pertama, pendidikan. Kedua, pekerjaan. Dan ketiga, pemimpin yang membuat kebijakan.” Menurutnya, dua hal pertama — pendidikan dan pekerjaan — bisa diupayakan secara pribadi. Namun, hal ketiga, yaitu pemimpin yang menentukan arah kebijakan, hanya bisa ditentukan melalui proses demokrasi, yaitu pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hedi menjelaskan perbedaan keduanya dengan lugas. “Pemilu itu memilih mereka yang membuat aturan: presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sedangkan Pilkada memilih pemimpin yang mengambil keputusan dari jarak dekat, seperti gubernur, bupati, dan wali kota,” terangnya. Ia menambahkan bahwa baik Pemilu maupun Pilkada dilaksanakan setiap lima tahun sekali. “Terakhir kita Pilkada pada 27 November 2024, yang menghasilkan Bupati Bandung saat ini, yaitu Bupati Dadang Supriyatna,” ujarnya disambut tepuk tangan para siswa. Lebih lanjut, Hedi menjelaskan peran penting KPU sebagai penyelenggara pemilu. “KPU bertugas menyiapkan seluruh proses pemilihan, memastikan suara rakyat tidak disalahgunakan, dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya,” jelasnya. Selain KPU, terdapat juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bertugas mengawasi jalannya proses agar tetap jujur dan adil, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang mengadili pelanggaran etik penyelenggara. Hedi pun menekankan pentingnya kesadaran bagi para siswa sebagai pemilih pemula. “Bagi yang sekarang masih berusia 15 atau 16 tahun, pada 2029 nanti sudah bisa memilih. Syaratnya mudah — berusia 17 tahun atau sudah menikah, tidak dicabut hak pilihnya, terdaftar sebagai pemilih, dan bukan anggota TNI atau Polri,” jelasnya. Ia mengajak para pelajar untuk tidak bersikap apatis terhadap politik. “Jangan membenci politik, karena tidak ada satu pun keputusan di negeri ini yang lepas dari politik. Mau sekolahnya bagus, jalanan mulus, lingkungan bersih—semuanya hasil keputusan politik,” tegasnya. Hedi menutup dengan pesan penuh semangat kepada para siswa untuk menjadi generasi yang sadar akan hak politiknya. “Rugi kalau nanti kalian tidak menggunakan hak pilih di TPS. Ingat, kalian bukan hanya penghuni masa depan, tapi penentu masa depan. Pada waktunya nanti, kalianlah yang akan berkata kepada Jawa Barat, ‘Hari ini aku menentukan pilihan untuk masa depan yang lebih baik.’” Pembicara berikutnya, Tim Optimasi Pembangunan Bandung Utama Dekranasda Kota Bandung, Anisa Nurhopipah Diastra mengangkat isu apatisme pemilih pemula. Menurutnya, banyak anak muda yang merasa suara mereka tidak berpengaruh, padahal justru sebaliknya. “Dulu waktu pertama kali punya hak pilih, saya tidak mencoblos karena berpikir satu suara saya tidak penting. Tapi ternyata salah besar. Suara yang tidak digunakan justru bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingannya,” ungkapnya. Anisa juga menyoroti bahaya politik uang. “Bayangkan, dikasih uang seratus ribu tapi menderita lima tahun. Mau seperti itu? Lebih baik gunakan hak pilih dengan bijak,” ujarnya memantik refleksi peserta. Selanjutnya, Pegiat Demokrasi Kabupaten Bandung, Rangga Julian, membahas peran media sosial dalam membentuk kesadaran politik. Ia mengajak para siswa untuk mengubah algoritma media sosial mereka menjadi lebih “cerdas”. “Kalau yang sering ditonton cuma konten viral, ya berandanya akan penuh hal-hal begitu. Mulai sekarang, tonton konten politik yang positif. Kalau ada konten KPU, jangan lupa like, comment, dan share!” serunya. Narasumber terakhir, perwakilan Forum Pemuda Asia Afrika sekaligus anggota Tim Optimasi Pembangunan Bandung Utama, Priyanka Puteri Ariffia berbagi pandangannya tentang pentingnya peran anak muda dalam demokrasi, baik di tingkat daerah maupun nasional. “Kita ini sedang memilih nahkoda bangsa. Tapi nahkoda tidak bisa bekerja sendiri. Teman-teman dengan berbagai keahlian akan menjadi bagian penting dalam membantu arah kebijakan ke depan,” tuturnya. Priyanka mengajak para siswa untuk mulai peduli dengan kebijakan publik sejak dini. “Politik bukan hanya soal kekuasaan, tapi tentang arah kebijakan. Apa yang kalian lakukan hari ini akan membentuk masa depan negeri ini. Gunakan masa muda untuk belajar, berkembang, dan berani berpendapat,” pungkasnya. Diskusi ditutup dengan suasana penuh semangat. Para siswa tampak antusias bertanya dan berdiskusi. Kegiatan ini semakin meriah dengan Pagelaran Wayang Demokrasi persembahan Bala Putra Giriharja 2 oleh Ki Dalang Yuda Deden Kosasih Sunarya, berkolaborasi dengan komedian Ohang. Selain Kepala Sekolah SMA Negeri se-Kabupaten Bandung, kegiatan ini turut diikuti oleh perwakilan KPU Kabupaten/Kota se-Jawa Barat, termasuk Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Cirebon, Masyhuri Abdul Wahid.

Semangat Demokrasi Menyala di Malam LDKS MTs Miftahul Ulum

CIREBON — Suasana malam di MTs Miftahul Ulum, Desa Durajaya, Kecamatan Greged, Kamis (30/10), terasa lebih hidup dari biasanya. Di tengah riuh semangat para pelajar yang mengikuti kegiatan Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) OSIS 2025, hadir KPU Kabupaten Cirebon yang membawa pesan penting tentang kepemimpinan dan nilai-nilai demokrasi. Ketua KPU Kabupaten Cirebon, Esya Karnia Puspawati, hadir langsung memberikan materi dan berdialog dengan para pengurus OSIS. Di pelataran sekolah yang disulap menjadi ruang belajar terbuka, Esya tak hanya berbicara tentang teori, tetapi menghidupkan suasana dengan diskusi ringan seputar demokrasi, kepemimpinan, dan peran pelajar sebagai generasi pra-pemilih yang kelak akan mewarnai masa depan bangsa. Dalam paparannya, Esya mengajak para pelajar memahami makna demokrasi melalui contoh-contoh sederhana yang dekat dengan kehidupan mereka. Ia mengutip pandangan Prof. Mahfud MD bahwa demokrasi adalah sistem terbaik di antara yang lain, karena menempatkan kepentingan rakyat sebagai hal utama. “Demokrasi bukan sekadar soal siapa yang paling populer atau siapa yang mendapat suara terbanyak, tetapi tentang musyawarah, gotong royong, kebersamaan, dan tanggung jawab bersama,” jelasnya. Lebih lanjut, Esya menyinggung berbagai tantangan yang dihadapi dalam praktik demokrasi, salah satunya politik uang. Ia menjelaskan bahwa politik uang tidak hanya merusak nilai kejujuran dan keadilan dalam proses pemilihan, tetapi juga dapat menumbuhkan pola pikir pragmatis di kalangan pemilih muda. Esya juga menekankan bahaya apatisme politik, yaitu sikap acuh terhadap urusan bersama. Menurutnya, kedua hal tersebut — politik uang dan apatisme — merupakan ancaman serius bagi masa depan demokrasi. Karena itu, ia mengajak para pelajar untuk mulai peduli dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial di lingkungan sekolah maupun masyarakat. “Adik-adik ini adalah bagian dari generasi Alpha, calon pemilih di Pemilu 2029 mendatang. Dari sekarang, tanamkan rasa tanggung jawab dan semangat kebersamaan. Demokrasi yang baik lahir dari pemilih yang jujur dan peduli,” pesannya. Suasana malam itu terasa hangat dan penuh semangat. Para pelajar tampak antusias menyimak, aktif bertanya, dan berbagi pandangan. Mereka diajak memahami bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal posisi, tetapi juga tentang keberanian mendengar, bekerja sama, dan menjaga integritas. Melalui kegiatan ini, KPU Kabupaten Cirebon berharap nilai-nilai demokrasi dapat tumbuh dan dipahami sejak dini, agar para pelajar mampu menjadi generasi pemilih cerdas, kritis, dan berintegritas di masa depan.

KPU se-Jawa Barat Teguhkan Komitmen Cegah Kekerasan Seksual

CIREBON - Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan penguatan kelembagaan di lingkungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus digencarkan. KPU Provinsi Jawa Barat bersama Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Barat terus mendorong penguatan SDM dan kelembagaan penyelenggara pemilu. Komitmen itu diwujudkan melalui Rapat Koordinasi KPU se-Jawa Barat Semester II Tahun 2025, yang dirangkai dengan Launching Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan KPU, Jumat (24/10), di Aula Setia Permana, Kota Bandung. Ketua Divisi SDM, Organisasi, Pendidikan dan Pelatihan, serta Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPU RI, Parsadaan Harahap, dalam arahannya menegaskan bahwa keberadaan Satgas bukan sekadar simbol, tetapi wujud nyata tanggung jawab kelembagaan. “Satgas ini harus aktif menjalankan fungsi monitoring dan memberikan solusi atas setiap laporan yang muncul. Ini tentang membangun lembaga dengan kesungguhan dan tanggung jawab,” tegasnya. Ketua KPU Provinsi Jawa Barat, Ahmad Nur Hidayat, membuka kegiatan dengan menegaskan pentingnya membangun budaya belajar yang adaptif di tubuh KPU. “Penguatan SDM harus dilakukan secara berkelanjutan. Setiap arahan dan hasil pembelajaran perlu diadopsi agar lembaga ini semakin maju dan memiliki ketahanan yang kuat,” ujarnya. Sementara itu, Sekretaris Bakesbangpol Provinsi Jawa Barat, Rumondang Rumapea, menekankan pentingnya keselarasan antara pengembangan SDM dan lingkungan kerja yang aman. Ia menegaskan bahwa pembentukan Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual menjadi bukti keseriusan KPU dalam menciptakan budaya organisasi yang sehat. “Kami siap bersinergi dan mendukung setiap langkah KPU dalam memperkuat kualitas SDM yang berintegritas dan berkeadilan,” ucapnya. Dalam sesi diskusi, Ketua Divisi SDM sekaligus Ketua Satgas Perlindungan Kekerasan Seksual KPU Provinsi Jawa Barat, Abdullah Sapi’i, menegaskan pentingnya pembentukan unit pencegahan di tingkat kabupaten/kota. Ia mendorong agar seluruh KPU rutin melakukan rapat pleno, pelatihan internal, serta sosialisasi daring untuk memperluas pemahaman mengenai isu kekerasan seksual dan penguatan SDM. Senada dengan itu, Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Provinsi Jawa Barat sekaligus Anggota Satgas Perlindungan Kekerasan Seksual, Aneu Nursifah, menjelaskan berbagai bentuk kekerasan seksual di lingkungan kerja—baik fisik maupun nonfisik—yang sering kali dianggap sepele namun merupakan pelanggaran serius. Ia menekankan pentingnya edukasi dan pelaporan agar setiap kasus dapat ditangani secara cepat dan tegas. Sementara itu, Ketua Satgas Perlindungan Kekerasan Seksual UNPAD, Ari J. Adipurwawidjana, memaparkan prinsip dasar penanganan kekerasan seksual, di antaranya keberpihakan pada korban, independensi, keadilan gender, dan kehati-hatian dalam setiap keputusan. Ia juga menjelaskan berbagai saluran pelaporan, mulai dari email, hotline, hingga platform digital seperti media sosial dan situs web. Dari perspektif eksternal, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Pusat, Kaka Suminta, menyoroti pentingnya inovasi dan koordinasi sebagai kunci keberhasilan kinerja SDM KPU. Ia juga mengingatkan bahwa tantangan ke depan menuntut adaptasi terhadap transformasi digital, analisis data SDM, dan peningkatan kesejahteraan pegawai. Menutup kegiatan, Ketua Divisi Sosdiklih dan Parmas KPU Provinsi Jawa Barat Hedi Ardia, mengajak seluruh jajaran KPU untuk terus belajar dan memperbaiki diri di tengah tantangan yang ada. “Satgas anti kekerasan seksual bukan sekadar amanat peraturan, melainkan manifestasi dari kesadaran moral kelembagaan. Satgas harus menjadi garda empati dan perlindungan bagi korban,” pungkasnya. Kegiatan ini diikuti KPU Kabupaten/Kota se-Jawa Barat. Dari KPU Kabupaten Cirebon, hadir Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM, Masyhuri Abdul Wahid, Kepala Subbagian Partisipasi Masyarakat dan SDM, Intan Sugihartini, Kepala Subbagian Teknis dan Hukum, Albet Giusti serta staf dan operator kepegawaian.

KPU Kabupaten Cirebon Hadiri Pendidikan Politik DPD Partai Nasdem Kabupaten Cirebon

Cirebon — Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Cirebon memenuhi undangan DPD Partai Nasdem Kabupaten Cirebon sebagai narasumber dalam agenda Pendidikan Politik, Senin (20/10), di RM Roso Echo, Talun. Kegiatan yang dikemas dalam bentuk workshop ini membahas arah baru penyelenggaraan Pemilu pasca Putusan MK Nomor 135 Tahun 2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Ketua DPD Partai Nasdem Kabupaten Cirebon, Asep Zaenudin Budiman, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif implikasi Putusan MK terhadap desain penyelenggaraan Pemilu 2029. Melalui forum diskusi, tanya jawab, dan dialog interaktif, para peserta diharapkan dapat mengidentifikasi tantangan teknis, institusional, dan politik yang mungkin muncul akibat pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Selain itu, workshop ini juga diarahkan untuk menyusun rekomendasi kebijakan serta langkah strategis bagi penyelenggara Pemilu, legislator, dan pemangku kepentingan agar pelaksanaan Pemilu 2029 dapat berjalan lebih demokratis, efektif, dan akuntabel. Kegiatan ini juga diharapkan mampu meningkatkan literasi politik dan partisipasi publik melalui dialog terbuka serta memperkuat jejaring antaraktor kepemiluan, seperti organisasi masyarakat sipil, media, dan akademisi. Diskusi panel diawali dengan Keynote Speech bertema “Pemilu dan Pembangunan Politik Daerah” yang disampaikan oleh Wakil Bupati Cirebon, Agus Kurniawan Budiman. Agus Kurniawan mengapresiasi terselenggaranya kegiatan ini sebagai bentuk komitmen dalam membangun kesadaran politik masyarakat. Ia berharap, sinergi antara partai politik, penyelenggara pemilu, pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat dapat terus diperkuat untuk mewujudkan demokrasi yang lebih matang dan partisipatif. Selanjutnya, Dekan FISIP Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Cirebon, Dr H Ade Setiadi, mengulas Implikasi Yuridis dan Konstitusional dari Putusan MK serta Dampak Pemisahan Pemilu terhadap Stabilitas Politik, Efektivitas Lembaga Legislatif dan Eksekutif. Ia menegaskan bahwa meskipun putusan MK bersifat final dan mengikat, pelaksanaannya tetap memerlukan dasar hukum turunan berupa peraturan baru. Sementara itu, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Kabupaten Cirebon, Apendi SE mengapresiasi kegiatan tersebut. Mengingat UU No 2 tahun 2008, UU No 2 tahun 2011 tentang partai politik bahwa tugas parpol antara lain melakukan pendidikan politik. Dalam materinya, Ia memaparkan seputar sistem Pemilu yang didalamnya juga membahas tentang daerah pemilihan (dapil). Menurutnya, bicara sistem pemilu maka ada 2 hal yang menjadi perhatian yaitu how votes are cast (bagaimana suara itu diberikan) dan alocated seats (alokasi kursi). "Pada Pemilu 1999 sistem pemilu yang dipakai adalah proporsional daftar tertutup. Kemudian mulai Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Kemudian juga ada parlementary threshold atau ambang batas parlemen," paparnya. Dalam melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban pihaknya selalu berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya pada Pemilu 2019 dan 2024, rujukan regulasinya adalah UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Apendi juga menjelaskan pentingnya penyusunan daerah pemilihan (Dapil) dengan memperhatikan prinsip-prinsipnya yang diatur di Pasal 185 UU No 7 Tahun 2017 yaitu kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama,  kohesivitas dan berkesinambungan.  "Jumlah 7 dapil dan komposisi kecamatannya pada Pemilu 2024 telah melalui proses panjang, termasuk juga kami melibatkan partisipasi publik melalui FGD dan uji publik. Karena itu adalah bagian dari 11 prinsip penyelenggaraan yang diatur di Pasal 3 UU No 7 tahun 2017 yaitu terbuka, profesional, akuntabel, ungkapnya. Pada kesempatan itu, Apendi juga menyampaikan data dari Disdukcapil terkait jumlah penduduk seluruh Kecamatan (DAK 2) di Kabupaten Cirebon pada semester 1 tahun 2024 sebanyak 2.452.563 jiwa dan semester 1 tahun 2025 sebanyak 2.509.723 jiwa. "Data ini menjadi unsur penting dalam penyusunan dapil. Dari data tersebut (perbandingan year to year) pertumbuhan penduduk dalam satu tahun diangka 57.160 jiwa atau tumbuh 2,33 persen. Apakah nanti di semester 1 tahun 2027, jumlah penduduk Kab Cirebon mencapai 3 juta lebih, bisa dihitung berdasarkan data awal tersebut," tuturnya. Ia menambahkan ketika jumlah penduduk Kab Cirebon mencapai 3 juta jiwa lebih, maka alokasi kursinya menjadi 55 kursi. "Sesuai pasal 191 UU No 7 tahun 2017," tambah dia. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi terbuka.