Opini

HUKUM TATA NEGARA PENATAAN REGULASI PEMILU DAN PILKADA MENATA PEMBENTUKAN REGULASI PEMILIHAN UMUM : TINJAUAN DAN PROSPEK

HUKUM TATA NEGARA PENATAAN REGULASI PEMILU DAN PILKADA MENATA PEMBENTUKAN REGULASI PEMILIHAN UMUM : TINJAUAN DAN PROSPEK   Hasyim Asy’ari Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro Universitas Diponegoro Kampus Tembalang, Semarang Email: hasyri@yahoo.com   ABSTRAK Tulisan ini membahas regulasi pemilu, terutama Pemilu 2024, berupa UU Pemilu, Putusan MK pengujian UU Pemilu dan PKPU. Tulisan ini meninjau aspek strategis pemilu yaitu alokasi kursi dan daerah pemilihan, mekanisme pencalonan, metode pemberian suara dan formula pemilihan. Hasil kajian menunjukkan terdapat sejumlah Putusan MK Pengujian UU Pemilu yang mengubah beberapa aspek strategis pemilu, di antaranya adalah regulasi tentang daerah pemilihan, dan syarat calon. Putusan MK Pengujian UU Pemilu diterbitkan ketika tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan. Dengan demikian berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dinamika pembentukan PKPU sebagai pelaksanaan norma UU Pemilu. Kajian ini merekomendasikan agar pemilu ke depan Putusan MK pengujian UU Pemilu dilakukan sebelum tahapan pemilu dilaksanakan agar menciptakan kepastian hukum pemilu, dan agar diatur regulasi tentang mekanisme pembentukan PKPU yang adaptif dan responsif terhadap Putusan MK pengujian UU Pemilu. Kata kunci: pemilu, regulasi, Indonesia. Tulisan artikel selanjutnya bisa di lihat DISINI

Membangun Profesionalisme Sejak Dini di KPU Jawa Barat

Membangun Profesionalisme Sejak Dini di KPU Jawa Barat  (Menekankan Pentingnya Disiplin, Tanggung Jawab, dan Etika Kerja Sejak Awal Penugasan) Oleh: Ari Fadzri Ilahi (CPNS Penempatan Satker KPU Kabupaten Cirebon)   Menjadi bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat menandakan siapapun harus siap menanamkan sikap profesional dalam diri sejak awal. Membangun profesionalisme sejak dini bukan sekadar pilihan, melainkan pondasi penting dalam menciptakan lembaga yang kredibel dan berintegritas. Nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab dan etika bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi justru menjadi  dasar dalam setiap langkah dan keputusan kerja yang dilakukan. Orientasi tugas atau penugasan awal sebagai bagian dari struktur besar KPU adalah momen strategis untuk menanamkan budaya kerja profesional. Disiplin waktu merupakan contoh kecil dalam upaya menanamkan budaya kerja profesional. Disiplin bukan hanya sekedar datang tepat waktu. Lebih dari itu, disiplin mencerminkan komitmen terhadap proses demokrasi yang tertib dan terstruktur. Dengan membangun budaya disiplin dapat menjadi penentu kelancaran pada tahapan Pemilu nanti. Bukan hanya tentang disiplin, tanggung jawab juga menjadi salah satu nilai yang perlu ditanamkan. Tanggung jawab bukan hanya sekadar menyelesaikan tugas dengan baik, melainkan menjaga kepercayaan publik terhadap KPU. Hal ini sesuai dengan materi pembekalan yang disampaikan salah satu anggota KPU Provinsi Jawa Barat dalam pengenalan dan orientasi tugas Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) KPU Provinsi Jawa Barat Tahun 2024. Kesalahan kecil dalam data atau prosedur bisa berdampak luas dalam kepercayaan masyarakat terhadap KPU secara kelembagaan.  Tak kalah penting dari disiplin dan tanggung jawab, etika kerja juga perlu ditanamkan untuk membangun budaya kerja yang profesional. Sebagai bagian dari KPU, perlu dijaga dalam etika kerja di mana kita harus mengutamakan netralitas, kejujuran dan sikap profesional dalam berinteraksi dengan peserta Pemilu. Di tengah tantangan era digital dan derasnya informasi, etika kerja juga menjadi filter penting dalam penyebaran berita hoaks. Dengan menanamkan etika kerja yang baik dapat memperkuat kepercayaan publik dan mempertegas KPU sebagai lembaga negara yang independen dan terpercaya.  Oleh karena itu untuk membangun kerja profesional perlu ditetapkan sejak dini di awal penempatan dengan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab dan etika kerja. Semua ini bermuara pada tujuan menciptakan pemilu yang berintegritas dan partisipatif.(*)

Menakar Turunnya Partisipasi Masyarakat Pada Pilkada Serentak 2024

Menakar Turunnya Partisipasi Masyarakat Pada Pilkada Serentak 2024 Oleh Masyhuri Abdul Wahid (Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat & SDM KPU Kabupaten Cirebon) Perhelatan Pilkada Serentak 2024 sebagian besar telah selesai di 545 daerah yang terdiri dari 37 provinsi, dan 508 kabupaten/kota. Sampai artikel ini ditulis, dari 158 permohonan perselisihan hasil pemilihan (PHP) di Mahkamah Konstitusi, 138 dinyatakan dismissal, termasuk Kabupaten Cirebon. Sementara 20 permohonan PHP lainnya berlanjut ke sidang pembuktian. Meski pada skala nasional tidak ada kejadian yang luar biasa, namun rangkaian Pilkada Serentak 2024 ini memunculkan sejumlah catatan penting yang menyeruak ke perbincangan publik. Setidaknya ada beberapa hal yang muncul menjadi catatan baik yang bersifat rutin maupun khusus. Antara lain partisipasi masyarakat menurun, tingginya biaya politik pasangan calon yang memunculkan wacana pemilihan tidak langsung, waktu penyelenggaraan yang relatif singkat dan isu money politics atau vote buying yang tidak bisa hilang, serta pelanggaran netralitas yang masih marak. Partisipasi masyarakat tidak hadir dari ruang hampa. Sebagai sebuah proses, partisipasi masyarakat seyogyanya dilihat dan diobservasi pada setiap tahapan Pemilu maupun Pemilihan. Selama ini, pemaknaan partisipasi lebih sering dilakukan secara parsial yakni angka yang dihitung sebatas pada berapa jumlah pemilih yang datang ke TPS pada hari H dan menyalurkan suara, atau lebih sering disebut voter turnout atau VTO. Padahal, mengacu pada PKPU Nomer 9 Tahun 2022 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, cakupan partisipasi sangat luas antara lain meliputi sosialisasi, pendidikan pemilih, survei, penghitungan cepat dan lembaga pemantau. Namun agar lebih fokus, tulisan ini lebih menyoroti partisipasi masyarakat dalam konteks VTO, meskipun konteks aspek partisipasi lain tentu tidak bisa dipisahkan begitu saja. Kendati tidak sepenuhnya keliru, namun aspek kuantitatif VTO tersebut tetaplah menjadi penilaian dominan dalam membincang partisipasi masyarakat dalam Pemilu maupun Pemilihan. Bukan saja karena tahapan pemungutan dan penghitungan suara merupakan puncak dari rangkaian Pemilihan, pun secara esensi, para ahli telah merumuskan bahwa partisipasi itu memiliki keterkaitan menentukan dengan tujuan-tujuan lain dalam konteks sosial dan politik suatu masyarakat. Melalui partisipasi, masyarakat menghendaki maksimasi alokasi manfaat selaras kebutuhan dan kehendak orang banyak (Sidney Verba dan Norman H Nie, 1972). Angka VTO pada Pilkada Serentak 2024, memang belum dirilis secara resmi oleh KPU. Sejauh ini KPU baru merilis Index Partisipasi Pemilu (IPP) 2024 pada 10 Februari 2025 lalu, sekaligus juga meluncurkan 11 buku dan laporan tentang IPP. Namun sejumlah media telah melansir pernyataan Ketua KPU Mochamad Afifuddin saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI bahwa angka rata-rata partisipasi masyarakat dalam Pilkada Serentak 2024 mencapai 68% (https://news.detik.com/pilkada/d-7670651/kpu-ungkap-partisipasi-pilkada-2024-se-indonesia-hanya-68). Sementara secara lokal, KPU Kabupaten Cirebon menghitung VTO untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat sebesar 59,55%, sedangkan pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cirebon sebanyak 59,49%. Dibanding dengan dua Pilkada sebelumnya, terjadi penurunan signifikan. Secara nasional Pilkada sebelumnya di tahun 2020 angka VTO mencapai 76,09% (https://nasional.kompas.com/read/2021/02/02/14195231/kpu-partisipasi-pemilih-dalam-pilkada-2020-paling-tinggi-sejak-2014). Dengan demikian terjadi penurunan 8,09%. Adapun dalam konteks Pilkada Kabupaten Cirebon, angka VTO pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cirebon tahun 2018 sebesar 63,79% (https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Bupati_Cirebon_2018). Penurunan juga terjadi di Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cirebon sebanyak 4,3%. Memang dibutuhkan penelitian yang komperhensif untuk mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan turunnya partisipasi masyarakat, khususnya VTO dalam Pilkada Serentak 2024. Namun munculnya berbagai catatan kritis dari masyarakat, termasuk kalangan akademisi dan praktisi yang menyeruak ke ruang publik, setidaknya bisa memberikan gambaran sederhana. Merunut rangkuman yang telah disampaikan penulis di awal tulisan, setidaknya ada lima catatan. Pertama, partisipasi masyarakat itu sendiri. Berikutnya adalah biaya politik pasangan calon yang tinggi --yang pada gilrannya-- memunculkan wacana pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPRD. Selanjutanya adalah, waktu penyelenggaraan yang terlalu singkat, money politics atau vote buying yang masih marak serta isu pelanggaran netralitas oleh aparatur. Pemilihan kepala daerah sebagai peristiwa politik yang merupakan implementasi demokrasi elektoral, juga tidak bisa dilepaskan sebagai sebuah fenomena sosial. Sama seperti fenomena sosial lainnya, ia tidak berada dalam isolasi tetapi selalu berhubungan dan kait-mengkait dengan berbagai faktor dan permasalahan lain yang saling memberi pengaruh. Demikian pula dengan kelima catatan yang dirangkum dan muncul dari ruang publik. Satu sama lain saling berkelindan. Pertama, tingginya biaya politik yang dikeluarkan pasangan calon maupun partai politik pengusul dan pendukung, menjadi catatan krusial. Sampai-sampai muncul ide untuk mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah dari sistem pemilihan langsung ke pemilihan oleh DPRD. Terlepas dari alternatif solusi tadi, tingginya biaya politik tentu berimbas pada frekuensi aksi sosialisasi maupun kampanye para pasangan calon kepada masyarakat. Meskipun KPU telah memfasilitasi pelaksanaan kampanye, namun terbatas pada pembuatan, penyebaran Bahan Kampanye (BK) dan Alat Peraga Kampanye (APK). Sementara metode sosialisasi dan kampanye yang dilakukan oleh paslon maupun parpol, menurut beberapa sumber internal peserta pemilihan, banyak terkendala finansial operasional lapangan. Sebagai contoh, kesempatan kampanye rapat umum yang menjadi hak paslon, di Kabupaten Cirebon hanya digunakan dua paslon saja. Sementara dua paslon lainnya tidak memanfaatkan ajang sosialisasi langsung yang bersifat massal tersebut. Begitupun di tingkat provinsi, Paslon Cagub dan Cawagub Jabar yang memiliki jatah kampanye dengan metode rapat umum, tidak semuanya memanfaatkan kesempatan itu. Catatan berikutnya adalah waktu penyelenggaraan yang terlalu singkat. Tidak dapat dipungkiri, faktor keserentakan Pemilu dan Pemilihan ternyata memiliki efek samping, yakni memunculkan kejenuhan tersendiri. Di sisi lain, durasi tahapan Pemilihan lebih singkat dari Pemilu yakni sekitar 8 bulan saja, sehingga sosialisasi yang digagas KPU maupun yang dielaborasi stake holder, menjadi kurang maksimal. Selanjutnya, fenomena money politics atau vote buying yang masih marak terjadi. Selain berkaitan dengan partisipasi masyarakat, fenomena ini juga berkorelasi dengan keluhan tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh paslon maupun parpol. Menurut Prof. Burhan Muhtadi dalam bukunya berjudul Kuasa Uang (2020), dalam Pemilu ada situasi yang disebut prisoner's dilemma atau dilema tahanan. Apabila salah satu kandidat mengeluarkan anggaran untuk politik uang, penantangnya juga akan menggelontorkan biaya untuk tujuan yang sama agar tidak dirugikan. Semakin permissive masyarakat terhadap politik uang, maka partisipasi masyarakat semakin besar. Dengan demikian, partisipasi masyarakat untuk menyalurkan suara cukup banyak dipengaruhi oleh maraknya politik uang. Meski tentunya, fenomena ini sangat destruktif bagi perkembangan demokrasi. Terakhir adalah isu pelanggaran netralitas oleh aparatur. Kontestasi yang fair menuntut semua pihak yang terlibat untuk mematuhi aturan. Masih munculnya isu aparat yang terlibat dalam pelanggaran netralitas menunjukkan secara tidak langsung partisipasi masyarakat yang lemah sehingga mudah dimobilisasi. Di Kabupaten Cirebon, seorang kepala desa bahkan divonis 1 bulan oleh pengadilan karena terbukti melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon. (https://rakyatcirebon.disway.id/read/659859/kuwu-karanganyar-dihukum-penjara-akibat-langgar-aturan-pilkada). Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah, partisipasi masyarakat yang menurun, khususnya VTO,  dalam Pilkada Serentak 2024 tentu tidak hanya mencakup empat catatan lainnya yang dikemukakan di atas. Dibutuhkan penelitian yang lebih komperhensif untuk menelisik faktor-faktor yang menyebabkan penurunan tersebut. Menyitir teori yang dikemukakan Everett S Lee tentang migrasi, kategori push factor atau faktor pendorong dan pull factor atau faktor penarik sangat mungkin diterapkan dalam menakar partisipasi masyarakat. Dengan demikian, masyarakatlah yang menjadi elemen paling determinan. Sementara penyelenggara, peserta dan stakeholder lainnya menjadi unsur pendukung. Dalam demokrasi Pancasila, masyarakat didudukkan sebagai subjek demokrasi. Sementara partisipasi menjadi prasyarat penting demokrasi yang tidak terhindarkan dari keterlibatan warga negara. Mengutip Nelson Mandela, demokrasi adalah panggilan untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, bukan hanya menjadi penonton.(*)    

Populer

Belum ada data.