Galeri Foto Kegiatan

Era Baru Pemilu: Indonesia Siap Melangkah ke E-Voting?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Barat menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Penerapan Sistem Pemungutan Suara Elektronik (E-Voting) dalam Pemilu dan Pemilihan Serentak”: Perspektif Regulasi, Teknologi dan Kepercayaan Publik, Selasa (30/9). Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan KPU Kabupaten Cirebon, Apendi bersama Kepala Subbagian Teknis dan Hukum, Albet Giusti beserta staf turut mengikuti kegiatan tersebut secara daring.

Ketua KPU Provinsi Jawa Barat, Ahmad Nur Hidayat, dalam sambutannya menyampaikan bahwa melalui kegiatan ini diharapkan lahir berbagai pandangan yang tidak hanya berfokus pada sisi problematika, tetapi juga menyoroti kemajuan dan pengalaman negara lain dalam penerapan e-voting, serta relevansinya dengan kondisi di Indonesia.

“Melalui FGD ini, KPU Jawa Barat berharap dapat memperoleh perspektif baru yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu dan pemilihan di masa mendatang,” ujarnya.

Selaku Keynote Speaker, Anggota KPU RI Divisi Teknis Penyelenggaraan, Idham Holik, dalam paparannya menyampaikan bahwa e-voting bukan lagi istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia. Ia menekankan bahwa perkembangan teknologi telah membawa kita pada era digital disruption, di mana teknologi digital menggantikan cara-cara konvensional dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Menurut Idham, penggunaan internet yang semakin masif menunjukkan bahwa masyarakat telah terbiasa dengan digitalisasi. Karena itu, pertanyaan pentingnya kini bukan lagi apakah teknologi perlu digunakan dalam pemilu, melainkan bagaimana penerapannya agar tetap sesuai dengan konsep dan prinsip pemilu yang diatur dalam konstitusi. “Internetisasi pemilu sudah tidak bisa dihindari lagi,” ujarnya mengutip hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025 yang menunjukkan rata-rata penggunaan internet masyarakat Indonesia mencapai 7,5 jam per hari, dengan proyeksi penetrasi internet mendekati 90% pada tahun 2028.

Idham juga menyoroti pentingnya kerangka regulasi yang mendukung, mesin atau aplikasi yang tersertifikasi dan aman, serta tingkat literasi digital masyarakat agar e-voting dapat berjalan optimal tanpa mengganggu asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).

Meski demikian, Idham juga menyoroti tantangan yang perlu diatasi, seperti masih adanya 2.333 desa yang belum memiliki akses internet. Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kesiapan infrastruktur.

Ia menegaskan bahwa dalam mengadopsi sistem manajemen pemilu berbasis teknologi, penting untuk tetap berpegang pada asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 — yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
Idham mencontohkan berbagai sistem digital yang telah digunakan dalam penyelenggaraan pemilu, seperti Sidalih, Silon, dan Sirekap, yang membuktikan bahwa teknologi dapat menjadi alat bantu penting dalam mendukung integritas pemilu.

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XXII/2024, Idham menjelaskan bahwa penggunaan e-voting dinilai dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, asalkan memenuhi tiga prinsip utama:
1.    Tidak melanggar asas luber jurdil;
2.    Diterapkan di daerah yang telah siap dari sisi teknologi, pembiayaan, SDM, perangkat lunak, dan infrastruktur pendukung lainnya;
3.    Memanfaatkan momentum disrupsi digital untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilu.

Ia juga memaparkan data dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang mencatat 34 negara telah menggunakan e-voting, sementara 11 negara menolak karena kekhawatiran terhadap kerahasiaan suara, yang menurutnya merupakan aspek sentral dalam demokrasi. Belajar dari penerapan e-voting dalam pemilihan kepala desa (pilkades) yang terus mengalami peningkatan, Idham menilai hal tersebut menjadi langkah awal penting menuju penerapan teknologi dalam pemilu yang lebih luas.

“Ukuran pemilu yang sukses bukan sekadar terselenggara, tetapi pemilu yang berintegritas. Karena itu, kunci dari penerapan e-voting adalah trust atau kepercayaan publik,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa pemilu adalah kepentingan bersama, sehingga menjaga integritasnya merupakan tanggung jawab kolektif seluruh pihak.

Sebagai penutup, Idham juga memaparkan sejumlah contoh praktik penggunaan e-voting di berbagai negara, yang dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia dalam merancang langkah strategis menuju transformasi digital pemilu.

Sejumlah narasumber dalam FGD ini turut membagikan pandangan dan analisisnya dari berbagai perspektif penting terkait penerapan sistem pemungutan suara elektronik (e-voting) di Indonesia.

Prof. Dr. Fauzan Ali Rasyid, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung, membahas tinjauan terhadap undang-undang dan regulasi pemilu yang berlaku saat ini, termasuk kebutuhan akan perubahan atau penyusunan regulasi baru yang mampu mengakomodasi kemajuan teknologi informasi, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pemilu yang demokratis, jujur, dan adil.

Dr. Sri Nuryanti, Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Riset dan Inovasi Daerah BRIN, Peneliti BRIN sekaligus mantan Anggota KPU RI, Dr. Sri Nuryanti, M.A., menilai penerapan electronic voting (e-voting) dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan partisipasi dalam pemilu. Namun, ia menekankan bahwa sejumlah tantangan perlu diantisipasi sebelum sistem ini dapat diterapkan secara luas di Indonesia.

Menurut Sri, tantangan utama e-voting mencakup ketersediaan infrastruktur, keamanan siber, literasi digital masyarakat, kesiapan sumber daya manusia, dan belum adanya regulasi yang komprehensif.

Ia juga menekankan pentingnya pelatihan dan edukasi bagi penyelenggara serta pemilih, agar hak memilih dan dipilih tetap terlindungi. Selain itu, kajian menyeluruh, peningkatan infrastruktur, dan penguatan regulasi menjadi langkah strategis menuju implementasi e-voting yang andal.

Sri menambahkan, pengalaman dari negara lain seperti Estonia dan India menunjukkan bahwa e-voting efektif meningkatkan efisiensi, tetapi tetap memerlukan sistem keamanan dan pengawasan yang kuat untuk mencegah manipulasi.

Perencana Ahli Muda Ditjen Bina Pemerintahan Desa, Drs. Gabriel Bambang Sasongko, MT, menjelaskan bahwa e-voting dapat menghemat biaya penyelenggaraan, mempercepat penghitungan suara, mengurangi kesalahan, serta meminimalkan potensi konflik akibat hasil pemilihan.

Hingga 2023, e-voting telah diterapkan di 1.910 desa pada 16 provinsi dan 30 kabupaten/kota. Salah satu contohnya, Kabupaten Banyuasin berhasil menghemat anggaran hingga Rp 3 miliar dalam pelaksanaan Pilkades secara digital.

Meski menjanjikan, Bambang menegaskan perlunya kesiapan SDM, infrastruktur, regulasi, serta literasi digital masyarakat. Potensi penolakan dari sebagian pihak juga harus diantisipasi melalui sosialisasi masif, uji coba bertahap, dan jaminan keamanan sistem.

Kemendagri memastikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan Pilkades e-voting sebagai bagian dari inovasi daerah dalam mendukung transformasi digital pemerintahan desa dan layanan publik.

Sementara itu, Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Barat, Irhan Ari Muhamad, menilai penerapan e-voting menjadi langkah penting menuju penyelenggaraan pemilu yang lebih modern, efisien, dan transparan. Menurutnya, e-voting menawarkan berbagai keunggulan, seperti proses penghitungan suara yang jauh lebih cepat, pengurangan biaya logistik, serta minimnya kesalahan manusia dalam rekapitulasi.

Selain itu, sistem ini juga meningkatkan aksesibilitas bagi pemilih disabilitas maupun yang tinggal jauh dari Tempat Pemungutan Suara (TPS), serta memungkinkan adanya jejak audit digital yang mendukung transparansi hasil pemilu.

Meski begitu, Irhan mengingatkan bahwa penerapan e-voting tidak lepas dari sejumlah tantangan yang perlu diantisipasi. Risiko keamanan siber, keterbatasan infrastruktur, rendahnya literasi digital masyarakat, serta tingginya biaya awal pengadaan perangkat menjadi tantangan nyata. Isu transparansi, privasi data, dan kesulitan audit manual juga menjadi perhatian penting.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 30 kali