Galeri Foto Kegiatan

Pemilih Muda Dominan di Medsos, KPU Matangkan Strategi Konten Sosialisasi

Di tengah tingginya aktivitas masyarakat di media sosial—lebih dari tiga jam setiap hari—ruang digital kini menjadi kanal paling efektif bagi KPU untuk menyampaikan informasi Pilkada. Bukan sekadar wadah hiburan, media sosial telah menjelma menjadi jalur cepat untuk menyebarkan jadwal, tahapan, dan berbagai informasi resmi secara real-time.

Hal ini disampaikan Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Cirebon, Masyhuri Abdul Wahid dalam pemaparannya sebagai narasumber pada kegiatan Parmas Insight Chapter #7 dengan tema "Peran Media Sosial dalam Sosialisasi Pilkada (Pengelolaan Akun Medsos agar Engaging & Informatif) yang digelar KPU Provinsi Jawa Barat, Rabu (19/11).

Masyhuri menjelaskan bahwa pemilih muda—yang sekaligus menjadi pengguna medsos paling aktif—sangat dipengaruhi oleh konten kreatif dan edukatif. “TikTok dan Instagram adalah pintu utama mereka. Sementara YouTube dan Facebook lebih efektif menjangkau Gen X dan kelompok usia yang lebih senior. Memahami karakter setiap platform itu penting agar pesan KPU sampai kepada audiens yang tepat,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa media sosial berperan besar dalam membangun kepercayaan publik. “Publikasi kegiatan, dokumentasi proses, sampai respons cepat terhadap isu adalah bentuk keterbukaan. Di era banjir informasi, komunikasi proaktif sangat penting untuk menangkal hoaks atau klaim palsu yang bisa merusak citra lembaga,” ujarnya.

Menurutnya, kekuatan utama media sosial justru ada pada interaksi dua arah. “Akun resmi harus menjadi ruang dialog. Respons yang cepat, bahasa yang ramah, dan visual yang konsisten akan membuat masyarakat merasa dekat. Prinsip STOC—sharing, transparency, openness, collaboration—harus diterapkan,” kata Masyhuri.

Untuk memastikan efektivitas, ia menegaskan bahwa jadwal posting terstruktur adalah kunci agar informasi Pilkada tersampaikan tepat waktu. Kalender konten harus ditetapkan dalam pleno, dipantau prosesnya, dan mengikuti kerangka “Circular Model of SOME”—Share, Optimize, Manage, dan Engage. Dukungan internal juga penting, karena penyebaran informasi tidak bisa hanya bertumpu pada divisi humas.

Kolaborasi strategis menjadi penguat jangkauan. Kerja sama dengan komunitas, influencer lokal, dan sesama akun resmi KPU membantu memperluas narasi netral dan informatif, seperti kolaborasi KPU Kabupaten Cirebon dengan komunitas Konten Kreator Cirebon.

Monitoring insight berfungsi sebagai alat evaluasi. Data jangkauan dan engagement menjadi dasar penyempurnaan strategi, sementara respons cepat berbasis data resmi diperlukan untuk menghadapi hoaks atau krisis informasi.

Semua ini hanya berjalan efektif jika didukung SDM yang mumpuni. Karena itu, pelatihan komunikasi digital dan kebijakan medsos harus rutin dilakukan, disertai tim khusus yang menangani konten, analitik, engagement, dan manajemen krisis.

Mengakhiri pemaparan, Masyhuri menekankan bahwa pengelolaan media sosial harus berpegang pada prinsip etika dan regulasi. Netralitas wajib dijaga agar akun tetap bebas dari keberpihakan dan menjaga integritas lembaga. Konten perlu disajikan secara informatif tanpa memicu polarisasi, sehingga ruang digital tetap kondusif.

Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Jawa Barat, Hedi Ardia membuka kegiatan dengan menyampaikan bahwa meeting hari ini istimewa karena menghadirkan narasumber dari luar Jawa Barat sebagai bentuk pengayaan, bukan hanya berkutat di sekitar Jawa Barat saja tetapi juga mendengarkan pengalaman dari provinsi lain.

Ia menekankan bahwa tema hari ini berbeda dengan sebelumnya, fokus pada pengelolaan media sosial yang masih belum maksimal di hampir semua kabupaten/kota. Padahal pengguna internet sudah di atas 200 juta dan media sosial telah menjadi kanal utama masyarakat untuk menyebarkan informasi secara cepat dan luas.

Hedi menegaskan bahwa KPU sebagai lembaga publik jangan sampai kalah dalam persaingan narasi di media sosial, karena jika dibiarkan informasi yang salah atau hoaks berkembang, hal tersebut bisa mengancam demokrasi. Beliau berharap diskusi ini dapat menguatkan pemahaman dan memperbaiki pengelolaan media sosial ke depannya.

Diskusi ini semakin kaya dengan kehadiran narasumber dari KPU Kabupaten Bandung Barat dan keynote speaker dari KPU Provinsi Jawa Tengah.
Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Provinsi Jawa Tengah, Akmalia mengemukakan bahwa media sosial kini memegang peran yang semakin penting dalam sosialisasi Pilkada.

Ia menegaskan bahwa media sosial bukan lagi ruang komunikasi yang kaku. Platform digital telah berubah menjadi wadah sosialisasi, edukasi, sekaligus sarana membangun citra dan kepercayaan publik terhadap lembaga KPU.

Menurutnya, setiap platform digital memiliki karakter dan audiens yang berbeda. “X, Instagram, TikTok—semuanya punya gaya komunikasi yang tidak sama. Karena itu, kunci pengelolaan media sosial adalah memahami karakter platform dan membuat konten yang kreatif, mudah dipahami, dan menarik, apalagi untuk pemilih muda,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa media sosial kini menjadi alat penting bagi penyelenggara Pemilu. “Melalui media sosial, kita bisa membangun kepercayaan publik, membuka ruang partisipasi, melawan hoaks dengan cepat, sekaligus menjalankan kampanye edukasi dan sosialisasi secara lebih luas,” terangnya.

Di akhir pemaparan, Akmalia menekankan pentingnya adaptasi dalam berkomunikasi. “Gaya komunikasi harus disesuaikan dengan audiens dan kearifan lokal. Ketika kita berbicara dengan cara yang dekat dengan masyarakat, pesan KPU akan lebih mudah diterima,” tutupnya.

Sementara itu, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Bandung Barat, Deni Firman Rosadi membuka pemaparannya dengan menegaskan bahwa pengelolaan media sosial hari ini harus benar-benar memahami cara kerja platform digital. “Kalau kita ingin konten KPU dilihat, disukai, dan dibagikan, kita harus mengerti dulu bagaimana algoritma bekerja,” ujarnya.

Menurutnya, algoritma selalu memilih konten yang membuat pengguna betah dan bertahan lama. “Konten yang ditonton sampai selesai, cepat dapat interaksi, sering dibagikan secara personal, dan berasal dari akun yang aktif—itu yang paling disukai algoritma,” jelasnya.

Ia kemudian membahas format konten yang paling efektif, terutama di Instagram dan TikTok. “Reels itu senjata utama. Durasi terbaik hanya 7 sampai 12 detik, tapi harus punya hook kuat di detik pertama supaya penonton penasaran,” katanya. Ia juga menyarankan penggunaan musik trending, teks besar untuk penonton yang menonton tanpa suara, visual yang dinamis, serta narasi pendek yang tetap edukatif.

Terkait waktu terbaik mengunggah konten, Deni menekankan pentingnya mengikuti ritme aktivitas masyarakat. “Posting pagi sebelum sekolah atau kerja, saat istirahat siang, dan setelah magrib sampai malam. Itu jam-jam emas,” ungkapnya.

Ia juga memberikan panduan frekuensi posting yang ideal agar akun tetap aktif tanpa terasa berlebihan: Reels 3–5 kali seminggu, Story setiap hari, postingan feed 1–2 kali seminggu, dan sesi Live minimal sebulan sekali.

Di bagian akhir, Deni menekankan bahwa engagement tidak selalu bergantung pada visual yang keren, tetapi pada pendekatan yang tepat. “Kuncinya itu kolaborasi dan konten yang humanis. Sampaikan hal penting dengan cara yang akurat, ringan, dan dekat dengan masyarakat. Itu yang membuat orang mau kembali lagi melihat akun kita,” ujarnya.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 14 kali