Ciptakan Lingkungan Kerja Sehat, KPU Tegaskan Komitmen Pencegahan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual memiliki cakupan yang lebih spesifik dibandingkan pelecehan seksual. Salah satu aspek penting dalam kekerasan seksual adalah adanya relasi kuasa.
Hal ini disampaikan oleh Ketua KPU Kabupaten Cirebon, Esya Karnia Puspawati, pada kegiatan In House Training (IHT) bertema Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Jumat (14/11) di Aula Pangeran Walangsungsang. Kegiatan ini diikuti oleh Ketua dan Anggota KPU, Sekretaris, para kepala subbagian, serta seluruh staf sekretariat.
Esya menyinggung belum adanya petunjuk teknis pembentukan satgas pencegahan kekerasan seksual di lingkungan KPU kabupaten/kota. Meski demikian, pembentukan satgas di tiap satuan kerja tetap dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan aturan, mengingat luasnya unsur yang berada di bawah koordinasi KPU.
Ia kemudian memaparkan data realtime dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan per 1 Januari 2025. Hingga saat ini, tercatat 27.696 laporan kekerasan seksual—terdiri dari data terverifikasi dan data yang baru masuk. Dari jumlah tersebut, 5.870 korban merupakan laki-laki, sementara korban perempuan mencapai 23.640 orang. “Angka tersebut kemungkinan hanya “puncak gunung es”, karena tidak semua korban berani atau mampu melapor,” ujarnya.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa Jawa Barat menjadi salah satu provinsi dengan angka kekerasan seksual yang meningkat. Kondisi ini, menurutnya, menjadi salah satu alasan penting bagi KPU untuk mengambil langkah progresif dalam pencegahan kekerasan seksual, termasuk bagi jajaran penyelenggara pemilu yang memiliki kerentanan tertentu dalam struktur kerja.
Esya menambahkan, hukum di Indonesia masih sangat bergantung pada visum dalam pembuktian kasus kekerasan seksual, sehingga pengalaman korban yang bersifat nonfisik sering kali tidak terakomodasi. “Mari sama-sama kita memahami bahwa korban bisa berasal dari gender apa pun dan bahwa relasi kuasa sering menjadi faktor yang memicu terjadinya kekerasan,” jelasnya.
Menutup pengantar, ia berharap pemahaman ini dapat menjadikan KPU Kabupaten Cirebon sebagai lembaga yang berperan aktif dalam upaya pencegahan kekerasan seksual.
“Mari kita belajar bersama, memahami isu ini dengan jernih, dan menjadikan lingkungan kerja kita lebih aman dan berintegritas,” tutupnya.
Sebagai narasumber, Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kabupaten Cirebon, Masyhuri Abdul Wahid, menyampaikan bahwa pemahaman mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual merupakan hal yang sangat penting bagi seluruh jajaran KPU. Ia menegaskan bahwa materi ini tidak hanya relevan sebagai kebijakan internal, tetapi juga sebagai upaya membangun lingkungan kerja yang aman, sehat, dan bermartabat.
Ia kemudian menjelaskan satu per satu bentuk kekerasan seksual dengan bahasa yang lugas. Menurutnya, pelecehan seksual fisik adalah setiap tindakan bernuansa seksual yang melibatkan kontak fisik tanpa persetujuan korban. Ia mencontohkan, “Meraba, memeluk secara seksual, atau memaksa seseorang melakukan gerakan yang tidak pantas—semua itu termasuk pelecehan yang dampaknya sangat besar bagi korban.”
Masyhuri juga menekankan bahwa pelecehan seksual nonfisik tidak boleh dianggap sepele. Ia menyampaikan bahwa komentar bernada seksual, candaan yang merendahkan, tatapan tidak pantas, atau pesan bernuansa seksual tetap termasuk kekerasan karena mengganggu kenyamanan dan kesehatan psikologis korban. Ia menambahkan bahwa tindakan ini sering kali dianggap ringan, padahal efeknya bisa membuat korban kehilangan rasa aman.
Lebih lanjut, ia menjelaskan mengenai pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan sterilisasi. Dalam penyampaiannya, ia menegaskan bahwa pemaksaan terhadap tubuh seseorang, baik penggunaan maupun penghentian kontrasepsi, termasuk tindakan pelanggaran hak reproduksi. “Ketika seseorang dipaksa menggunakan alat kontrasepsi atau bahkan menjalani sterilisasi tanpa persetujuannya, maka itu merupakan bentuk kekerasan seksual yang sangat serius,” jelasnya.
Terkait pemaksaan perkawinan, Masyhuri menjelaskan bahwa tindakan ini dapat terjadi melalui tekanan keluarga, adat, ekonomi, maupun ancaman langsung. Ia mengingatkan bahwa perkawinan anak maupun perkawinan yang terjadi karena paksaan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi dan berdampak panjang pada masa depan korban.
Dalam bagian lain, ia menyampaikan bahwa penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, dan perbudakan seksual merupakan bentuk kekerasan yang umumnya disertai kekuasaan dan kontrol penuh oleh pelaku. “Pada titik ini, korban tidak hanya mengalami penderitaan fisik, tetapi juga mental dan emosional. Mereka kehilangan kebebasan, harga diri, bahkan hak dasar sebagai manusia” ujarnya.
Masyhuri juga menyoroti maraknya kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Ia menjelaskan bahwa tindakan seperti penyebaran foto atau video pribadi tanpa izin, ancaman seksual melalui pesan, pemerasan digital, dan grooming terhadap anak adalah bentuk kekerasan yang kini semakin sering terjadi. Menurutnya, penggunaan teknologi perlu dibarengi dengan kesadaran etika dan perlindungan diri.
Menutup penyampaiannya, Masyhuri mengajak seluruh peserta untuk lebih peka dan peduli. “Saya berharap kita semua dapat memahami materi ini bukan hanya sebagai teori, tetapi sebagai pedoman dalam bekerja. Kita harus berani menolak, mencegah, dan melaporkan setiap tindakan yang berpotensi menjadi kekerasan seksual,” pungkasnya.
Dalam sesi penutup kegiatan IHT ini, Ketua KPU Kabupaten Cirebon, Esya Karnia Puspawati, menyampaikan sejumlah rekomendasi penting terkait penguatan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan KPU.
Esya menekankan bahwa Satgas Pencegahan Kekerasan Seksual perlu memperhatikan beberapa hal sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini. Ia menyampaikan, pertama, Satgas perlu membentuk mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban, sehingga keduanya dapat merasa aman dan terlindungi ketika melaporkan atau memberikan keterangan terkait kasus kekerasan seksual.
Kedua, Satgas diharapkan mampu memperjelas dan mempertegas jenis-jenis perkara kekerasan seksual yang menjadi kewenangannya. Dengan demikian, proses penanganan dapat berjalan lebih terarah, sesuai pedoman, dan menghindari kerancuan dalam menindaklanjuti laporan.
Ketiga, Esya menyebut bahwa isu kekerasan seksual merupakan pekerjaan rumah bersama yang membutuhkan kesadaran kolektif. Ia mengajak seluruh jajaran KPU Kabupaten Cirebon untuk meningkatkan kepedulian, memperkuat pemahaman, serta menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bebas dari kekerasan.
Sebagai bentuk komitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, aman, dan bebas dari kekerasan seksual, KPU Kabupaten Cirebon telah membentuk Unit Pencegahan Kekerasan Seksual. Unit ini berperan mendukung kinerja Satgas dalam upaya pencegahan sekaligus penanganan kasus kekerasan seksual, sehingga perlindungan terhadap seluruh jajaran penyelenggara pemilu dapat berjalan lebih optimal.
Melalui kegiatan IHT ini, KPU Kabupaten Cirebon sekaligus melakukan sosialisasi mengenai UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, sebagai dasar hukum penting dalam upaya pencegahan dan penegakan penanganan kekerasan seksual di lingkungan lembaga.